Bermain Bertahan Bukanlah Aib

Diposting oleh Hulu on Kamis, 08 Mei 2014

Sejak namanya mengorbit di lingkaran elite sepakbola Eropa, Jose Mourinho dikenal sebagai sosok pelatih atau manajer yang kontroversial. Mencap dirinya sebagai The Special One, Mourinho tak jarang dengan entengnya “menyerang” pelatih lawan dan melontarkan psy-war setiap menjelang pertandingan.

Di sisi lain, tak sedikit kalangan yang mengkritik manajer asal Portugal berusia 51 tahun ini. Bukan hanya mulutnya yang cerewet, melainkan dari taktik dan strategi yang diterapkan Mourinho di lapangan hijau. Utamanya, saat kembali menangani Chelsea di musim ini.

Salah satu figur yang angkat bicara dan mengkritik keras gaya permainan Mourinho adalah pelatih Timnas Denmark, Morten Olsen. Di mata mantan pelatih Ajax Amsterdam berusia 64 tahun ini, Mourinho lebih pas dinilai sebagai pembunuh sepak bola.

Olsen yang sempat mengantarkan Tim Dinamit ke Piala Dunia 2010 menunjuk pola permainan yang dikembangkan Chelsea di musim ini. Olsen mengakui jika sepak bola membutuhkan keseimbangan saat menyerang dan bertahan.

Mari meluruskan pandangan para pelatih yang banyak salah kaprah. Pasalnya sepak bola adalah permainan strategi kala kemenangan adalah hal utama dalam setiap laga.

Kalau mau melihat sejarah, tengok saja bagaimana taktik catenaccio mampu mengantarkan empat bintang di logo Gli Azzurri. Atau lihat bagaimana Seri A menjadi liga tersukses dengan mengantarkan tim-timnya berjaya di Eropa.

Itu semua lantaran gaya bermain pragamatis yang melekat dalam budaya Seri A. Hal yang kini mulai dihilangkan demi kenyamanan mata penikmat sepak bola. Lalu apa jadinya? Tim-tim Seri A melempem bak kerupuk kena angin.

Tidak ada yang benar-benar mampu berprestasi di kancah Eropa. Bahkan Juventus yang punya motivasi menggelar final di kandangnya sendiri malah tersungkur oleh wakil Portugal, Benfica.

Berkaca dari itu Olsen merasa terganggu ketika banyak pihak menyebut sepak bola bertahan adalah pragmatis, sementara sepak bola menyerang adalah yang tidak pragmatis. Bahkan ada yang dengan tinggi hati menyebutnya idealis, padahal realis mungkin lebih tepat sebagai lawan makna idealis.

Lebih parah lagi, pragmatis dikesankan negatif. Seolah sepak bola bertahan itu inferior dan sepak bola menyerang superior. Seolah "memarkir bus di depan gawang" sebuah "aib", sementara upaya membongkarnya adalah sebuah tindakan mulia.

Juga yang harus disadari gaya permainan bertahan bukan berarti mereka kemudian tidak berusaha mencetak gol. Namun menitikberatkan permainan untuk mencegah kebobolan dan memanfaatkan secara efektif sedikit kesempatan yang mereka punya untuk mencetak gol.

Kembalilah ke arti dasar dari kata pragmatis itu yakni tindakan yang didasari pengalaman praktis atau pengamatan ketimbang teori. Tidak ada sama sekali penilaian positif atau negatif dalam penjelasan arti pragmatis itu.

Kita semua tahu, baik bertahan maupun menyerang adalah sebuah pilihan. Keduanya membutuhkan pemikiran dan latihan yang sama rumitnya. Keduanya mempunyai risiko dan membutuhkan kejelian untuk mengeksekusinya.

“Mereka" pun sama-sama mempunyai tujuan menegasi kelebihan lawan di lapangan dan sebisa mungkin menjebol gawang.